menyebut namamu…

•May 29, 2012 • Leave a Comment

seperti bumi
saat diam seribu bahasa
saat meluluhlantakkan dengan gempa

seperti air
saat tenteram sebagai embun
saat perkasa sebagai samudra

seperti angin
saat semilir sepoi
saat ganas menghempas

seperti matahari
yang unjuk diri saat pagi
dan tahu diri saat petang hari

duhai Kekasihku,
aku memohon pertolonganMu
jagalah aku dari sekeping niat untuk membunuhMu
justru di saat aku
menyebut namaMu!

karpet

•September 18, 2011 • Leave a Comment

Selamanya engkau takkan pernah merasakan bagaimana rasanya dingin dan gelap itu, jika belum sekalipun engkau pernah menjadi diriku. Bisa saja engkau menjamah sebongkah es dan mematikan lampu untuk sekedar tahu apa dingin dan gelap itu. Tapi rasa itu. Ya, rasa itu. Dingin. Gelap. Jika belum pernah sekalipun engkau menjadi aku, bagaimana mungkin engkau bisa merasa rasa itu?

Engkau bisa melihat pintu gudang yang perlahan tertutup. Cahaya luar yang sebelumnya selebar bingkai pintu itu akan pelan-pelan merapat menjadi hanya seberkas garis tegak yang bersinar terang. Kau bisa mendengar suara itu? Suara yang menggema saat daun pintu beradu dengan bingkai pintu? Suara yang bisa terasa amat berdebum. Sepeti sebuah godam yang menghantam hatiku!

Satu ketika aku sangat bersyukur, saat Pak Min pernah sekali lupa mematikan lampu gudang. Lampu yang menyala itu menjadi satu-satunya teman yang hangat, yang bisa menemaniku. Cobalah pejamkan mata, dan rasakan kegelapannya. Sekarang kalau engkau bisa merasakan hal yang sama bahkan pada saat membuka mata, maka engkau akan rasakan kegelapan yang sempurna! Itulah yang akan terjadi kalau pintu tertutup rapat dan lampu gudang dimatikan.

Aku bisa merasakan selimut es itu. Pelan dan amat pelan merayapnya. Dimulai dari bingkai pintu. Merambat perlahan sambil menebar jarum-jarum kecil rasa dingin, yang menancap satu-satu sampai mengkaktuskan tubuhku. Rasa dingin itu, yang bahkan bisa merenggut robek selimut hangat yang selalu memeluk kalbu!

*****

Aku datang dari seberang lautan dan dipajang di sebuah toko di pusat kota. Toko itu menjual tidak hanya karpet, akan tetapi juga menjual semua pernik-pernik dan asesori yang berkaitan dengan karpet. Aku bahkan merasa sangat terhormat, karena aku cukup beruntung dipajang di toko karpet paling lengkap di kota itu.

Setiap hari tokoku selalu dikunjungi banyak orang. Sebagian besar mereka adalah para pedagang yang membeli dalam jumlah yang besar untuk kemudian dijual kembali di suatu tempat. Meski pembeli di tokoku kebanyakan adalah pedagang, dalam hati aku diam-diam bepengharapan besar agar kelak yang membeliku bukanlah seorang pedagang.

Bukan aku tak suka dengan pedagang ya.

Aku hanya sedikit kurang sreg saja. Karena jika seorang pedagang membeliku, pastilah aku hanya akan dianggap sebagai barang atau komoditas saja, yang bisa diperjualbelikan suatu waktu. Amat jarang seorang pedagang yang memperlakukan barangnya secara pribadi dan istimewa. Maklumlah, kalau seorang pedagang sampai memperlakukan barang dagangannya secara demikian, pastilah ia akan merasakan kepedihan yang amat dalam jika barangnya laku dijual. Bagaimana mungkin ia tak merasakan kehilangan, karena barang yang dijualnya itu telah menjadi bagian dari dirinya. Sudah pasti ia akan merasa ada sesuatu yang tercabut, karena perpisahan itu sedemikian terasa merenggut.

Itulah sebabnya, doa aku panjatkan setiap harinya. Agar ada seorang saja, yang bakal membeliku dan sedemikian istimewa akan memperlakukanku. Menjadikanku sebagai bagian darinya, menghormatiku, dan menjadikan diriku sebagai sesuatu yang layak.

Sebuah permintaan yang amat sederhana. Yang datang dari sekedar benda sepertiku. Selembar karpet.

*****

Seperti apa rasanya doa yang dikabulkan? Mungkin seperti madu yang manis. Dan dengan mencium mawar, engkau akan mengingat betapa semerbaknya ia. Suaranya seperti gemericik air yang mengalir, saat sinar surya fajar menyemburat. Dan jikalau engkau menyentuh sutra, demikianlah rasa lembutnya. Rangkum rasa itu dan dekaplah erat-erat ke dalam dada. Ijinkanlah dadamu lapang dan terang benderang.

Aku berdebar tak menentu, saat pembeli itu membayar harga yang ditetapkan atasku. Pembeli itu membeli dalam partai besar, yang semakin membuatku yakin bahwa ia adalah seorang pedagang. Namun, meski fakta yang dipertunjukkan kepadamu sedemikian gamblang, kadang engkau tetap juga salah menyimpulkan dan lantas mengembangkan prasangka yang bukan-bukan.

Aku sangat bersyukur, prasangkaku itu salah.

Ia memang membeli dalam jumlah yang besar. Bukan untuk dijual kembali, akan tetapi dipergunakan untuk menutup lantai rumah yang juga sedemikian luasnya. Rumah siapakah?

Saat itulah aku bersorak tergirang-girang. Ternyata rumah itu adalah rumah Tuhan!

Sambil engkau engkau membayangkan betapa sejuk dan tentramnya rumah Tuhan, sementara itu, ijinkanlah aku membagikan kepadamu, perasaan bahagia yang hinggap kepadaku!

*****

Menjadi karpet yang terhampar di rumah Tuhan, bagiku menjadi sebuah kehormatan. Meski engkau berulangkali diinjak-injak, kehormatan yang akan engkau dapatkan melalui injakan-injakan itu menjadi sesuatu yang amat engkau idamkan dan rindukan.

Karena aku tahu, Tuhan akan mengangkat derajatku melalui injakan-injakan itu. Dari yang hanya sekedar benda menjadi sesuatu yang mulia. Engkau bisa merasakan sambutanku yang demikian hangat kepadamu, begitu engkau menginjakkan telapak kakimu di hamparanku. Aku akan menyapa matamu dengan warnaku yang cerah. Dan jika ada desah yang muncul karena engkau menggesekkan anggota tubuhmu di hamparanku, maka dengarkanlah. Itu adalah suaraku yang menyambutmu.

Rakaat demi rakaat shalat yang didirikan di atasku menjadi menjadi poin dan koin untukku. Sepasang kaki yang mendirikan shalat di atas hamparanku menjadikanku bernilai dihadapan Tuhan. Itu berarti poin bagiku. Sedangkan koin, itu adalah imajinasi jenakaku atas poin yang bisa kudapatkan. Di setiap ibadah yang dilakukan pada hamparanku, aku membayangkan koin demi koin yang bisa kukumpulkan. Koin yang mudah-mudahan saja bisa kugunakan untuk membayar tiket masuk ke surga. Jangan khawatir. Aku tidak akan menjadi pesaingmu dan mengurangi jatah kapling surga yang telah disediakan untukmu. Karena aku akan tetap menjadi selembar karpet. Selembar karpet yang diperkenankan menutupi lantai surga.

Benar kan? Aku tidak akan mengambil jatah kapling surgamu. Bahkan kalau aku beruntung, aku bisa menjadi hiasan di lantai kapling surgamu!

*****

Detak jantung yang sedemikian debar itu, pernahkah engkau rasakan?

Aku masih ingat debaran jantung seperti itu. Saat aku dibeli dari toko dulu. Meski sekarang aku bahagia bisa menjadi karpet yang dihamparkan dilantai masjid, namun debar itu selalu muncul, muncul, dan tak terhindarkan.

Tiapkali perhelatan yang diadakan masjid selesai, saat itulah jantungku akan berdetak kencang. Kau tahu kenapa? Ya, karena saat itu adalah saat yang paling menentukan bagiku untuk mendapat giliran digulung ataukah tetap digelar di lantai masjid. Aku akan sangat lega jika kemudian ternyata aku tetap dihamparkan. Jika kemudian sampai aku digulung dan disimpan dalam gudang, maka sekencang apapun aku menjerit dan menangis, takkan ada yang bisa mengubah keadaanku.

Ruang gudang yang dingin dan gelap adalah sesosok monster bagiku. Yang akan melahapku bulat-bulat. Jubah gelapnya akan membungkusku rapat-rapat, menjadi tirai kegelapan yang sempurna, yang tak memberi kesempatan sedikitpun kepada berkas cahaya untuk menembusnya. Dan rasa dingin yang menggigit, menusuk seperti ribuan jarum. Pelan dan pasti, menyebar ke seluruh tubuhmu, membekukan tak cukup hanya darah.

Tapi juga hatimu!

*****

Aku hanya memohon kepada Tuhan untuk bisa bertahan.

Bagaimanapun, aku hanyalah selembar karpet, maka ikhtiar apalagi yang bisa kulakukan selain hanya dengan berdoa?

Saat gelap dan dingin sedemikian mencengkeram, itu adalah saatnya bagiku membuka kotak ingatan. Pada situasi yang mencekam itu, kotak ingatan bisa menjadi pegangan untuk bisa bertahan. Ia bisa menghibur dan menguatkan, karena ia adalah satu-satunya teman.

Kotak ingatan menyimpan satu keping ingatan yang istimewa.

Ingatan tentang hembusan nafas.

Akan kuceritakan kepadamu tentang hembusan nafas.

Setiapkali hamba-hamba Tuhan yang mendirikan shalat di atasku bersujud, aku merasakan hembusan nafas yang mengiringi desah doa yang diucapkan saat itu. Saat kening kepala mereka menyentuh hamparanku yang diikuti dengan gerakan-gerakan bibir yang membaca doa, terasa benar udara yang berhembus diantara kepala dan hamparan karpet. Rasakanlah, sungguh amat hangat hembusan itu!

Hembusan nafas hamba-hamba Tuhan yang bersujud adalah sehangat-hangatnya hembusan nafas. Tak ada hembusan nafas lain yang bisa menyamainya. Hembusan itu terasa hangat karena di dorong oleh ketundukan dari dalam. Bersujud membuat egomu bertekuk lutut. Saat egomu tunduk, saat itulah kejujuran menjadi amat mudah untuk bertahta di hatimu. Kejujuran yang bertahta akan menggandeng ketulusan. Itulah sebabnya kenapa matahari ketulusan selalu terbit mendampingi singgasana yang bertahtakan kejujuran.

Adakah yang lebih hangat, selain hati orang-orang yang jujur dan tulus?

Ingatan tentang hembusan nafas itu,

membuatku tetap mempunyai harapan dan bertahan.

Saat dingin dan gelap menyekap!

*****

Maka datanglah Ramadhan…

Saat semuanya dibersihkan. Itu berarti, aku pun turut dibebaskan dari dingin dan gelapnya gudang. Kembali digelar di lantai dengan amat gembira. Menunggu dengan antusias para hamba yang akan beribadah di rumah Tuhan. Merasakan desah hangat nafas hamba-hamba Tuhan yang bersujud dan berpuasa. Atau bersuka cita karena tapak-tapak kecil anak-anak yang berlarian kesana kemari menunggu saat takjil tiba.

Ramadhan adalah saat yang indah.

Karena ternyata, aku tak sendirian. Aku bisa mendengar cerita tentang sajadah yang juga terbebas dari ruang gelap dan pengap, yang datang dari sajadahnya bu Mala. Atau kisah mukena yang hampir mati karena digantung terlalu lama, seperti yang diceritakan oleh mukena Vani. Lain lagi cerita tentang jilbab yang dipakai si Julia, yang selalu dipakai saat tarawih atau sholat subuh. Betapa gembiranya ia bisa dibebaskan dari lipatan dan diperkenankan membungkus auratnya. Jilbab itu juga berdoa, agar kelak ia juga diperkenankan untuk menjadi tirai hatinya.

Aku juga mendengar kisah sepasang sandal. Ia sangat gembira karena diperkenankan sejenak menginjak halaman rumah Tuhan. Sebab di sepanjang hidupnya, laki-laki yang memilikinya selalu mengunjungi tempat-tempat dimana hati dan harga diri dijual, serta kebaikan dan kehormatan diinjak-injak.

Ramadhan memang saat yang indah.

Karena itulah kesempatan bagi kami, yang hanya sekedar benda, untuk bisa menjadi lebih mulia dan bermakna!

*****

Delapan belas hari telah berlalu, dari saat segelas teh yang tumpah dan membasahiku pada takjilan terakhir. Aku sudah tak menjumpai lagi sajadah Bu Mala. Kuharap, mukena Vani tak digantung lagi. Karena akhir-akhir ini aku tak bisa mendapatkan kabar darinya lagi. Kabar terakhir kudengat dari jilbab si Julia, yang menitikkan air mata karena kembali dilipat dan dimasukkan ke dalam almari. Tentang sepasang sandal itu, aku amat prihatin karena entah kapan aku bisa kembali bertemu dengannya lagi.

Saat Ramadhan berlalu, semuanya juga berlalu.

Al Qur’an yang dibuka dan dibaca sepanjang Ramadhan akan kembali ditutup dan kembali hanya dipajang. Amal shalih dan akhlaq baik yang selama sebulan kemarin digelar kembali digulung. Sebagaimana aku yang juga digulung dan disimpan rapat-rapat di dalam gudang.

Wajarkah?

Ah, sekiranya orang-orang itu pernah sekali saja menjadi aku.

Digulung, disekap gelap dan dingin.

Atau sekali-sekali jenguk dan tanyalah hatimu…

Wajarkah itu?

Jogjakarta, 18 september 2011

saat ramadhan berlalu….

kalender

•March 22, 2010 • 1 Comment

“ingatkah engkau kepada
embun pagi bersahaja
yang menemanimu
sebelum cahaya…”

Enda yang sedang dalam sebuah perjalanan, Enda yang sedang memejamkan mata, sekali lagi mendengar lagu “Sebelum Cahaya” milik Letto itu sayup-sayup melalui headset  yang terpasang di telinganya. Lagu yang selalu ia cantumkan di playlist  iPod-nya. Lagu yang berkisah tentang embun, tentang suasana dinihari yang memendarkan kesahajaan, yang menyimpan cahaya fajar di balik garis cakrawala itu amat jelas telah menempati satu ruang khusus dalam hatinya.

Sekarang, lagu itu benar-benar menggambarkan apa yang dialami Enda saat ini. Berada dalam sebuah kereta yang menembus kegelapan dini hari dan membawanya menuju ke arah timur mata angin. Sambil melihat keluar, Enda dapat melihat titik-titik embun yang mulai menempel di jendela kereta dan bercak semburat jingga yang ramah di kakilangit timur. Enda meletakkan telapak tangan kanannya ke jendela, berusaha menyambut sapaan embun pagi yang lembut.

Enda menyanyikan reffrain lagu “Sebelum Cahaya” dalam hati. Ia sudah menjadikannya semacam tradisi. Baginya, penggalan reffrain lagu itu mempunyai makna khusus. Untuknya, bait lagu itu selalu saja menjelmakan mesin waktu, yang akan membawanya kepada suatu masa dimana segala sesuatu tampak begitu sederhana di matanya.

***

Peristiwa itu terjadi pada hari Senin dini hari.

Tapi pahamkah Enda yang saat itu masih seorang balita? Karena baginya, waktu adalah sesuatu yang aneh. Jika ia mendengar nama Minggu, Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, dan Sabtu, yang muncul di benaknya adalah wajah orang-orang yang dikenalnya.

Aku membaca apa saja, sejak aksara-aksara yang ditata itu terasa berbunyi di kepalaku saat mataku menitinya satu-satu. Tapi kalenderlah yang paling mengguratkan kesan dalam kepadaku. Sejak saat itu, aku baru paham kalau deretan nama-nama yang dimulai dari Minggu sampai Sabtu adalah sebutan untuk nama-nama hari dalam seminggu. Dan tak cuma nama, hari-hari pun ditandai dengan angka-angka.

Enda kecil pun perlahan belajar tentang waktu. Kata-kata kemarin, sekarang, besok, sedikit demi sedikit ia mulai paham. “Sekarang hari apa?”, adalah kalimat tanya yang selalu terucap tiap pagi, sekedar untuk mengetahui hari. Itu ia ucapkan kepada siapa saja. Kepada Ibu, Bapak, Nenek, Kakek, maupun kepada Paman dan Bibi. Tak lupa, Enda kecil pun segera bergegas menuju kalender yang tergantung di dinding ruang keluarga. Sejak saat itu, nama-nama dan angka-angka yang tercantum di situ seakan-akan berbicara langsung kepadanya!

Karena selalu bertanya tentang hari kepada siapa saja, lalu dengan penuh semangat membaca kalender sambil berdiri di atas bangku, aku mulai sadar akan adanya peristiwa yang berulang-ulang. TK Harmoni selalu libur pada hari Minggu. Dan setiap Senin, aku memakai seragam TK yang hijau kuning. Hari Sabtu adalah yang paling kutunggu. Karena di hari itu, semua murid akan diajak berjalan-jalan oleh bu guru mengunjungi satu tempat di kota. Namun yang paling kusuka dari itu semua adalah hari Jumat sore. Pada saat itulah, dengan penuh suka cita, aku akan menyambut kedatangan Ibuku!

***

Lantas, apa yang terjadi pada Senin dini hari?

Kalender seperti menjadi candu bagiku. Huruf-huruf dan angka-angka yang tercetak di situ menjadi obsesiku. Pada bangku yang kugunakan untuk berdiri, membekas jelas tapak kecil kakiku. Hari Jumat dan angka-angka pada kalender yang dicetak berwarna merah adalah yang pertama kali akan aku perhatikan. Karena pada hari itulah, kehadiran Ibuku demikian mewarnai hariku. Semacam rasa frustrasi kecil melandaku, apabila jari-jari pada tangan kananku habis tanpa sisa untuk menghitung hari-hari yang mesti kulalui sebelum hari Jumat itu tiba.

Disamping frustrasi, aku pun belajar mengembangkan perasaan cemas dan takut. Selain Jumat, ada satu hari yang tak bisa luput dari perhatianku. Sesuatu terasa menekan perutku apabila hari-hari sedemikian terasa menggiringku mendekati hari itu. Saat yang paling menyiksa adalah saat menjelang kedatangannya. Aku bahkan amat takut memejamkan mata dan jatuh tertidur, karena jika sampai aku tertidur di hari yang menegangkan itu, sesuatu yang paling berharga bagiku terrenggut dari sisiku.

Hari itu adalah Senin. Dini hari tepatnya. Karena pada saat itulah, Ibuku akan selalu pergi meninggalkanku!

***

Aku ingin Ibuku yang pertama kali tahu.

Aku masih ingat harinya Rabu, saat aku berhasil memanjat pohon mangga yang berdiri di samping TK Harmoni, tempat sekolahku. Aku masih ingat mimik ketakutan dan perasaan cemas bu guru Erliya, yang memintaku untuk turun dari pohon itu. Seandainya saja bukan bu guru Erliya, melainkan Ibuku, tentu perasaan bangga dan bahagia akan memenuhi hatiku. Atau pada saat hatiku berdebar-debar karena namaku disebut sebagai juara pada lomba mewarna, aku membayangkan Ibuku yang tersenyum kepadaku di bawah panggung sana.

Aku ingin ibuku yang pertama kali tahu, saat aku menangis karena berkelahi dengan Malik temanku, yang  merebut mainan dari tanganku. Atau pada saat aku benar-benar malu, saat si Ofi mengolok-olok sepatuku. Atau pada Nia, saat aku benar-benar iri kepadanya, karena mama Nia selalu setia mengantarnya saat sekolah.

Roda besi kereta yang beradu dengan sambungan rel memunculkan tabuhan perkusi yang amat manis. Di ufuk timur, langit berpendar dengan spektrum warna jingga. Enda tersenyum melihat matahari yang menyembul terbit. Karena dengan jelas ia dapat melihat wajah Ibunya disana.

***

Setelah meeting yang kupimpin selesai, aku langsung menyambar handphone yang sedari tadi aku biarkan berdering dalam modus senyap. Ada SMS masuk rupanya.

“Enda, bisa sempatkan pulang? Ibu masuk rumah sakit Nak. Tiba-tiba saja beliau pingsan saat selesai sholat ashar. Sampai sekarang beliau masih juga belum sadar.”

Membaca SMS dari Bapak, aku bergegas mencari kendaraan yang bisa membawaku kembali pulang. Rupanya tinggal kereta apilah, yang bisa membawaku sesegera mungkin ke sana. Flight terakhir pesawat terbang yang menuju ke kotaku telah berangkat tiga puluh menit yang lalu.

Masa remaja adalah titik nadir hubunganku dengan Ibuku. Dunia terasa begitu luas dan aku merasa sanggup mengarunginya sendirian. Sebagai seorang anak dengan beragam prestasi yang mengagumkan, entah kenapa Ibu tampak begitu kecil di mataku. Aku bisa saja secara objektif menilai kebaikan atau kelebihan yang dimiliki oleh Ibuku. Tapi entah kenapa, kelemahan atau sisi buruk yang dimiliki Ibu selalu saja mendominasi penilaianku atas beliau. Sehingga andai sebesar gajahpun kebaikan yang dimiliki oleh Ibu, tetap saja ia tak tampak, meski dengan kedua kelopak mataku ia begitu dekat.

Kereta terus melaju ke arah timur. Sinar matahari terbit perlahan mulai menghangatkan badan kereta api yang hampir semuanya terbuat dari logam itu.

Ibu yang tampak kecil dan hampir selalu salah dalam pandanganku. Ah, apakah itu justru manifestasi dari betapa merindunya aku kepada beliau? Bukankah waktu kecil dulu, hari Senin sampai Jumat adalah hari-hari penantian yang terasa amat panjang? Dan di setiap Senin, Ibu harus berangkat dini hari menuju kota tempat beliau bekerja. Sesuatu yang selalu membuat mataku sembab oleh air mata, menangisi kepergiannya.

Studi yang kutempuh sampai jauh ke negeri seberang seperti mampu mengurai simpul-simpul lama. Betapa jarak mampu sedemikian mengusik dan memaksamu untuk melakukan sederetan kontemplasi. Saat engkau merasa dipisahkan, saat itulah engkau akan merasa betapa berharga semua yang pernah engkau dapatkan. Apakah benar begitu?

“Nak, Ibu akan selalu menangisi kepergianmu.”, itulah kalimat Ibu saat melepas kepergianku. Mata Ibu menitikkan kristal bening. Dan saat mataku dengan mata Ibu beradu, tampak bayangan diriku. Aku, yang selalu menangis setiap Senin pagi, tergambar jelas di situ!

Disitulah, saat Ibu dan Aku berjarak sedemikian jauh, aku merasakan semacam matahari kecil yang hangat terbit dalam hatiku. Matahari kecil yang perlahan mengusir gelap malam. Kebaikan-kebaikan kecil yang dilakukan Ibu kepadaku, itulah matahari kecil itu!

***

Di luar jendela kereta, matahari telah terbit sempurna. Terasa benar hangatnya, meski hanya dengan memandangnya. Namun hembusan AC di kereta terasa dingin menusuk kulit. Sensasi hangat sekaligus dingin yang muncul itu, terasa aneh dan unik.

Untuk mencapai rumah sakit, butuh waktu sekitar lima belas menit perjalanan dari stasiun kereta. Setelah cukup melepas rindu, Bapak memintaku menemani Ibu. Beliau izin sebentar untuk shalat dhuha di masjid yang ada di kompleks rumah sakit.

Wajah Ibu tampak damai dalam tidurnya. Melihat wajahnya yang bercahaya, aku lantas ingat dengan sensasi hangat sekaligus dingin yang barusan kurasakan, saat menatap matahari terbit di dalam kereta.

Saat itulah tiba-tiba Ibu terbangun.

“Enda, kapan engkau datang, Nak?”

Betapa bahagianya aku. Tiba-tiba hari itu serasa hari Jumat petang, dan aku begitu bersuka cita menyambut Ibu yang telah datang.

“ingatkah engkau kepada
angin yang berhembus mesra
yang kan membelaimu,
cinta!”

Reffrain lagu itu terasa dinyanyikan lagi di kepalaku.
Ibu, aku memaafkanmu. Aku sadar betapa engkau teramat mencintaiku. Itulah sebabnya di setiap senin dinihari, engkau selalu menitipkan cintamu kepada embun yang akan menemaniku, dan angin yang berhembus membelaiku.

“Ibu, maafkan aku!”

Aku tak kuasa menahan haru…

jogjakarta, 16 maret 2010

untuk anak-anak,
yang telah berjuang memenangkan orang tua mereka
dalam hatinya!

saat daun-daun gugur…

•November 27, 2009 • 2 Comments

bagi yang terlanjur melampaui batas…
janganlah berputus asa!

Ada satu keinginan kecil yang mengorbit dalam hati. Sekiranya keinginan itu bolehlah disandingkan intensitasnya dengan kerinduan untuk bisa hadir di tanah suci, kadarnya mungkin bisa menyamai. Keinginan yang perlahan mulai menghadirkan kuncup kecil obsesi itu adalah: menyaksikan satu episode musim gugur di salah satu negeri!

Di negeri manakah tepatnya? Syarat pertamanya jelas.Negeri itu adalah negeri yang mesti disinggahi oleh empat musim; semi, panas, gugur, dan kemudian dingin. Adalah konyol rasanya, jika ingin melihat musim gugur yang menawan malah mendatangi negeri yang mempunyai iklim sahara. Dan diantara sederetan negeri dengan empat musim itu, entah kenapa, Kanada-lah yang terbersit pertama.

Menjadikan Kanada sebagai pilihan tentunya bukan tanpa alasan. Meski terkesan sentimentil, sebenarnya alasan itu sederhana saja, bahkan mungkin terasa kekanakan.

Karena benderanya!
Karena benderanya? Yap! Sebab tampaknya hanya Kanada, yang menempatkan citra daun maple ke dalam desain benderanya. Kebetulan pula, di hampir semua gambar atau foto-foto yang menangkap citra musim gugur, kehadiran daun maple hampir tak bisa dipungkiri. Ditambah lagi, Kanada mempunyai sepuluh spesies pohon maple yang tumbuh alami. Fakta lain menyatakan bahwa paling tidak satu spesies pohon maple tumbuh dengan alami di setiap propinsinya. Dan sepanjang kita cenderung untuk memamerkan sesuatu yang membuat kita terkesima atau membanggakan, maka rasanya wajar jika memilih Kanada sebagai pilihan. Karena kalau tak sampai membuat terkesima dan membanggakan, tentunya George F. G. Stanley tak pernah selintas pun mempertimbangkan daun maple itu saat merancang desain bendera Kanada.

Bagi mata yang terbiasa terpapar dengan warna hijau dedaunan, karena sepanjang hidup tinggal di negeri beriklim tropis, menyaksikan pemandangan musim gugur bisa menjadi satu obsesi dalam hati. Saat chlorophyll alias zat hijau daun mengalunkan warna hijau dedaunan sepanjang musim semi sampai musim panas, musim gugur adalah saatnya ia beristirahat sejenak untuk kemudian mempersilakan carotenoid serta antocyanin naik pentas mengalunkan nada-nada. Maka tersajilah dihadapan mata parade daun-daun yang berubah warna, dari hijau menjadi kuning keemasan, coklat, dan beberapa diantaranya merah, menampilkan satu orkestra warna-warna yang tampak luar biasa!

Merona di dahan, lalu perlahan layu dan lepas dari tangkainya, gugur melayang meluncur meliuk-liuk untuk kemudian rebah ke tanah. Pemandangan yang menakjubkan dan sungguh ekstatik ini, terasa sekali mengajak ingatan untuk berlari kepada kenangan akan dosa-dosa. Sebegitukah kira-kira, Tuhan memperlakukan dosa-dosa?

“Katakanlah, “Wahai hamba-hambaKu yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri! Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sungguh, Dialah yang Maha Pengampun, Maha Penyayang.”

Sekiranya masih saja terasa galau dan gelisah jiwa karena rimbunnya dosa-dosa, adakah terasa asa yang menguncup, setelah merenungkan ayat di atas? Dan bagi yang dalam waktu dekat sudah mempunyai rencana untuk melampaui batas dengan berbuat dosa, apakah ada terasa rasa malu yang perlahan mengusik dan mulai menggugat?


Sungguh, melihat orkestra warna musim gugur, perlahan terasa dan akan semakin terasa sapuan kuas ampunan, yang membelai menyentuh dengan penuh kasih sayang, hingga merona dedaunan! Daun-daun yang merona, kemudian menggigil karenanya. Hingga tak butuh lagi jeda yang lama untuk kemudian bergetar dan terjatuh dalam cinta!

melihat parade musim gugur,
merasakan sapuan kuas ampunan
membelai
menyentuh
dengan kasih sayang penuh…
maka jiwa siapakah yang takkan merona?

jiwa
siapa
yang tak menggigil
yang tak tergetar
yang tak jatuh cinta?

duhai Tuhan,
bagaimana mungkin aku tak malu
karena belaian ampunanMu
jiwa merona
dan dosa-dosa luruh
satu-satu…

Tuhan
aku malu
tidakkah kau lihat
rona itu?

Tuhan,
ampuni aku!

Jogja, 25 november 2009

asyik!

•November 8, 2009 • Leave a Comment

berdosa itu…
asyik!
karna engkau akan tahu
betapa Maha Pengasihnya
Tuhanmu

berdosa itu…
asyik!
karna engkau akan tahu
betapa amat mudahnya
Tuhanmu mengampunimu

berdosa itu…
asyik!
karna engkau akan dibuat
terpesona
oleh Tuhanmu
yang dengan hangat menerimamu
apa adanya!

berdosa itu…
asyik!
karna sebentar lagi engkau
akan sejadi-jadinya menangisi
pautan jarak
yang engkau buat sendiri
dengan Sang Kekasih hati!

8 november 09
jogjakarta!

17:16

•October 9, 2009 • Leave a Comment

indonesia-earthquake
17:16

1,0625 adalah hasilnya, jika deretan simbol diatas dibaca sebagai “tujuh belas dibagi enam belas”. (bagi saya yang terus terang sulit berimajinasi dengan angka, untuk memunculkan 1,0625 saya butuh perangkat penunjang hidup tambahan yang bernama kalkulator)

Atau bisa saja deretan simbol itu terngiang-ngiang menjadi “pukul tujuh belas lewat enam belas menit” di telinga, karena ada seseorang yang bertanya kepada kita tentang waktu. Dan setelah mengecek jam digital yang ada di pergelangan tangan –atau mungkin telepon seluler, deretan simbol “17:16” berpendar di layar digital dan tertangkap oleh indra penglihatan, sehingga setelah terjadi serangkaian proses yang rumit, otak kemudian memerintahkan mulut untuk bersuara mengeluarkan output.

17:16
Bagaimana Anda mau membaca deretan simbol di atas?

***

“Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.”

Demikianlah, karena saya seorang muslim, paparan simbol “17:16” biasanya membangkitkan minat untuk merujukkannya kepada Al Qur’an, kitab suci orang Islam. Dengan demikian, “17:16” bisa dibaca sebagai ayat ke-16 dari surat ke-17 dalam Al Qur’an. Dan paragraf di atas adalah terjemahan dari ayat ke-16 Surat Al Isra (Surat ke-17 dalam Al Qur’an)

***

Rasanya mendapatkan satu kemewahan, jika bisa makan tiga kali sehari, padahal sehari-harinya hanya bisa makan satu kali. Atau mungkin bisa tidur di kasur yang empuk dalam ruangan yang sejuk, padahal sebelumnya tidur beralaskan tikar baginya sudah cukup. Atau bisa memiliki 3, 4, 5, bahkan 10 rumah atau mobil, padahal satu saja sebenarnya sudah cukup.

Kalau Anda mempunyai uang 1 milyar di tangan, padahal untuk memenuhi kebutuhan Anda hanya butuh 30 juta saja, maka bayangkanlah sisa uang yang 970.000.000 itu akan Anda belanjakan untuk apa…

Hati-hati…
Karena sebentar lagi Anda akan berkenalan dengan kemewahan!

***

Kemampuan untuk melakukan sesuatu yang melebihi batas kecukupan.

Demikianlah, arti kemewahan menurut saya yang awam. Contoh yang paling gampang adalah makan. Dari segi kuantitas, makan 3 kali sehari sudah cukup. Bisa nggak makan lebih dari 3 kali? Tentu saja bisa. Tapi untuk mewujudkannya, jelas Anda harus punya dukungan finansial yang berlebih. Kalau untuk makan 3 kali sehari hanya butuh 30 ribu saja, sedangkan penghasilan Anda sehari 1 juta, maka peluang untuk sampai lebih dari 3 kali sehari makin terbuka lebar.

Tentu saja nggak cuma makan dong. Masak hidup cuma diisi dengan makan? Kita kan butuh hiburan?

Okelah. Karena makan sudah menjadi kebiasaan yang mudah didapat, kita butuh tantangan lain yang lebih menggairahkan! Carilah hiburan yang paling bisa menghibur. Kalau kehadiran sebuah mobil bisa menghibur, carilah mobil yang paling wah, dan kalau memungkinkan, mengkoleksinya. Atau mungkin penghibur Anda adalah batu mulia, cari dan burulah intan permata dan mutu manikam (dan jangan lupa untuk mengkoleksinya).

Saya sudah memberi contoh mobil dan batu mulia.
Anda yang kreatif tentu saja bisa memikirkan hal lain yang lebih dahsyat!

***

Tidakkah Anda merasakan pergerakan perasaan?

Awalnya hanya makan 3 kali sehari. Berlanjut ke makan 4, 5, atau 10 kali. Berikutnya lantas rumah, mobil, perhiasan, dan bahkan seluruh pernik-pernik keindahan dunia!

Dan semakin meningkat kemampuan Anda (nggak cuma finansial lho!), rasakanlah apa yang terjadi dalam diri Anda. Semuanya ingin direngkuh, semuanya ingin dimiliki! Kalau bisa, semuanya harus diwujudkan. Tak peduli bagaimanapun caranya. Toh semua kemampuan sudah dimiliki, jadi apa yang bisa menghalangi?

Pada saat itu tercapai, pada saat kemampuan dan kekuasaan sepenuhnya ada dalam genggaman, lantas tiba-tiba ada orang yang meminta Anda untuk patuh kepada peraturan yang telah dirancangnya.

Mulailah bertanya kepada lubuk hati yang terdalam….
Bersediakah Anda?

***

Kira-kira pada pukul 17:16, tanggal 30 September 2009, gempa dengan kekuatan 7,6 skala Richter menghantam kota Padang dan sekitarnya.

Kira-kira, saya masuk golongan orang-orang yang hidup mewah nggak ya?
Kalau iya, masihkah terselip kesediaan untuk taat  kepada Tuhan?

Ya Allah, ampunilah kami,
Ya Allah, kasihanilah kami
Ya Allah, sayangilah kami,
Semuanya!

10 oktober 09
(tulisan ini diilhami SMS “17:16” yang beredar, dan untuk mengenang kembali gempa jogja mei 2006, yang perlahan mulai dilupakan sebagian penduduknya….)

Illustrasi foto : http://www.exilez.com/wp-content/uploads/2009/02/indonesia-earthquake.jpg

kaget!

•September 21, 2009 • Leave a Comment

0818Fireworks

kalau engkau
kaget
karena bunyi petasan,

engkau akan lebih
kaget lagi
dengan jiwamu
yang sedemikian
menawan

berhiaskan pakaian
yang engkau jahit
sepanjang ramadhan!

1 syawwal 1430

memelukmu, merindumu…

•September 18, 2009 • Leave a Comment

sujud14

subuh ini
terasa mendung
dan dingin

dan ramadhan
yang makin merenggangkan
pelukan

membuat
yang biasanya nekat dan nakal
mulai merencanakan perselingkuhan

dan yang biasa
tunduk dan khusyu
makin kuat memeluk

karna sayatan sembilu rindu
menitikkan tangis haru

29 ramadhan 1430

titipkan cinta

•September 13, 2009 • Leave a Comment

nebula heart

karna hanya
hati
yang bisa menampung
Tuhan

kepadanya
kutitipkan
cinta…

yang terasa berat
kalau diungkapkan!

21 ramadhan 1430

Illustrasi foto : http://apod.gsfc.nasa.gov/apod/ap061003.html

cakrawala anak kita

•September 6, 2009 • 1 Comment

childinbox

cobalah ingat,
semampunya
masa kanak-kanak
yang tergores di ingatan

karna sungguh
menakjubkan…
apa yang bisa anak-anak lakukan!

***

Pada awalnya sih saya ragu, untuk menuliskannya. Sebab kok terasa narsis atau mungkin terkesan pamer diri. Dan semenjak blog ataupun situs-situs macam Facebook, YouTube atau yang lain begitu amat populer, rasanya pintu untuk berperilaku narsis tampak terbuka lebar-lebar.

Menurut saya yang awam, sebenarnya narsis atau pamer diri itu muncul karena kita menghambat dan membelokkan laju aliran pujian. Pujian seharusnya dialirkan dan tak boleh dihentikan sampai dia menuju ke tempat pemberhentian terakhirnya, yakni ke hadirat Tuhan. Kalau Anda memuji saya dan lantas saya merasa hebat, dan kemudian Anda pun memandang saya sebagai orang hebat, maka kita berdua mesti bersiap-siap berhadapan dan berurusan dengan Tuhan. Kita berdua punya masalah di sini. Masalah saya adalah menahan dan merebut hak Tuhan atas pujian. Sedangkan masalah Anda adalah membuat Tuhan mempunyai saingan dalam mendapatkan pujian.

Memang, kalau mau main aman sih, kita sebaiknya tidak perlu menceritakan kehebatan dan kehebohan kita. Akan tetapi ada saat dimana kebaikan kita bisa diceritakan semata-mata untuk menginspirasi dan membikin hidup kebaikan itu sendiri. Coba saja kalau tak ada orang yang bercerita soal sedekah yang dilakukannya beserta sejumlah ganjaran kebaikan yang bisa didapatkannya dari sedekah itu, maka perintah dan janji Tuhan tentang sedekah rasanya seperti pepesan kosong belaka.

Dan biasanya setelah ada contoh, kita terasa mudah untuk digerakkan

***

Ini cerita soal saya dan keponakan saya.
Ini adalah tahun kedua dia berkenalan dengan puasa. Pada tahun lalu, dia hanya sempat bersentuhan dengan hura-hura atau glamournya puasa, seperti pura-pura ikut tarawih anak-anak dan ceria saat mendapat jaburan (jaburan adalah hidangan yang biasa dibagikan pasca tarawih dilaksanakan), ikut menikmati berbuka puasa, sempat menikmati gemerlap kembang api, dan dibelikan lampion pada hari menjelang takbiran.

Tapi di Ramadhan 1430 ini, keponakan saya diberi kesempatan bersentuhan dengan getirnya puasa.
Hari pertama ia berbuka pada jam 10 dan bakda asar. Hari kedua lumayan, ia berbuka sekali saja pada dzuhur dan puasanya disambung sampai maghrib tiba. Hari ketiga ia hampir saja tuntaskan puasanya. Namun neneknya tak cukup tega membiarkannya untuk kemudian memaksanya berbuka pada bakda asar.

Dan mulai di hari keempat dan seterusnya, meski badan dan terutama wajahnya terlihat kuyu setiap bakda asar tiba, alhamdulillah, puasanya tuntas sampai magrib tiba!

***

Bulan Agustus 2009 lalu, ia baru saja merayakan ulang tahun keempatnya.
Dan di akhir Agusutus, ia sudah memulai debut puasa penuhnya!

Saya masih susah menerima.
Saya pun memulai debut puasa sehari penuh sejak kanak-kanak. Tapi ‘maqam’ itu baru bisa saya raih saat saya berusia 8 tahun. Dan saat berlatih puasa dulu, saya tidak bisa cukup disiplin untuk menyambung puasa. (Maksudnya jika saya berbuka saat dzuhur, bisa dipastikan ada ritual mencuri-curi makan atau minum sampai saat maghrib tiba. )

Keponakan saya cuma butuh 3 hari untuk berlatih, sedangkan saya mulai berkenalan dengan puasa seingat saya di usia 6 tahun, dan baru bisa berpuasa penuh saat 8 tahun!

Apa yang dialami keponakan saya ini menggelisahkan saya.
Yah, mungkin karena malu jika membandingkan prestasi puasanya dengan prestasi puasa saya. Tapi lebih dari itu, tidakkah kita melihat sesuatu yang dahsyat di sini?

Anak-anak mencontoh kita,
dan kemudian menyempurnakannya!

***

Kalau anak-anak menjelma menjadi anak-anak dengan sejuta prestasi kebaikan,
siapa yang layak dan bersedia untuk ‘disalahkan’?

Kalau anak-anak lebih suka mementaskan peran keburukan,
dari mana ia belajar berperan?

Dan sepanjang kita bisa memberi,
apa yang bisa dan telah kita berikan
kepada anak-anak kita?

***

cobalah ingat,
semampunya
masa kanak-kanak
yang tergores di ingatan

karna sungguh
menakjubkan…
apa yang bisa anak-anak lakukan!

kita adalah cakrawala
untuk anak-anak kita meluaskan pandangannya…
dan meski cakrawala adalah batas,
cakrawala terasa luas dan meluaskan!

(16 ramadhan 1430
saat asar tiba!)