Selamanya engkau takkan pernah merasakan bagaimana rasanya dingin dan gelap itu, jika belum sekalipun engkau pernah menjadi diriku. Bisa saja engkau menjamah sebongkah es dan mematikan lampu untuk sekedar tahu apa dingin dan gelap itu. Tapi rasa itu. Ya, rasa itu. Dingin. Gelap. Jika belum pernah sekalipun engkau menjadi aku, bagaimana mungkin engkau bisa merasa rasa itu?
Engkau bisa melihat pintu gudang yang perlahan tertutup. Cahaya luar yang sebelumnya selebar bingkai pintu itu akan pelan-pelan merapat menjadi hanya seberkas garis tegak yang bersinar terang. Kau bisa mendengar suara itu? Suara yang menggema saat daun pintu beradu dengan bingkai pintu? Suara yang bisa terasa amat berdebum. Sepeti sebuah godam yang menghantam hatiku!
Satu ketika aku sangat bersyukur, saat Pak Min pernah sekali lupa mematikan lampu gudang. Lampu yang menyala itu menjadi satu-satunya teman yang hangat, yang bisa menemaniku. Cobalah pejamkan mata, dan rasakan kegelapannya. Sekarang kalau engkau bisa merasakan hal yang sama bahkan pada saat membuka mata, maka engkau akan rasakan kegelapan yang sempurna! Itulah yang akan terjadi kalau pintu tertutup rapat dan lampu gudang dimatikan.
Aku bisa merasakan selimut es itu. Pelan dan amat pelan merayapnya. Dimulai dari bingkai pintu. Merambat perlahan sambil menebar jarum-jarum kecil rasa dingin, yang menancap satu-satu sampai mengkaktuskan tubuhku. Rasa dingin itu, yang bahkan bisa merenggut robek selimut hangat yang selalu memeluk kalbu!
*****
Aku datang dari seberang lautan dan dipajang di sebuah toko di pusat kota. Toko itu menjual tidak hanya karpet, akan tetapi juga menjual semua pernik-pernik dan asesori yang berkaitan dengan karpet. Aku bahkan merasa sangat terhormat, karena aku cukup beruntung dipajang di toko karpet paling lengkap di kota itu.
Setiap hari tokoku selalu dikunjungi banyak orang. Sebagian besar mereka adalah para pedagang yang membeli dalam jumlah yang besar untuk kemudian dijual kembali di suatu tempat. Meski pembeli di tokoku kebanyakan adalah pedagang, dalam hati aku diam-diam bepengharapan besar agar kelak yang membeliku bukanlah seorang pedagang.
Bukan aku tak suka dengan pedagang ya.
Aku hanya sedikit kurang sreg saja. Karena jika seorang pedagang membeliku, pastilah aku hanya akan dianggap sebagai barang atau komoditas saja, yang bisa diperjualbelikan suatu waktu. Amat jarang seorang pedagang yang memperlakukan barangnya secara pribadi dan istimewa. Maklumlah, kalau seorang pedagang sampai memperlakukan barang dagangannya secara demikian, pastilah ia akan merasakan kepedihan yang amat dalam jika barangnya laku dijual. Bagaimana mungkin ia tak merasakan kehilangan, karena barang yang dijualnya itu telah menjadi bagian dari dirinya. Sudah pasti ia akan merasa ada sesuatu yang tercabut, karena perpisahan itu sedemikian terasa merenggut.
Itulah sebabnya, doa aku panjatkan setiap harinya. Agar ada seorang saja, yang bakal membeliku dan sedemikian istimewa akan memperlakukanku. Menjadikanku sebagai bagian darinya, menghormatiku, dan menjadikan diriku sebagai sesuatu yang layak.
Sebuah permintaan yang amat sederhana. Yang datang dari sekedar benda sepertiku. Selembar karpet.
*****
Seperti apa rasanya doa yang dikabulkan? Mungkin seperti madu yang manis. Dan dengan mencium mawar, engkau akan mengingat betapa semerbaknya ia. Suaranya seperti gemericik air yang mengalir, saat sinar surya fajar menyemburat. Dan jikalau engkau menyentuh sutra, demikianlah rasa lembutnya. Rangkum rasa itu dan dekaplah erat-erat ke dalam dada. Ijinkanlah dadamu lapang dan terang benderang.
Aku berdebar tak menentu, saat pembeli itu membayar harga yang ditetapkan atasku. Pembeli itu membeli dalam partai besar, yang semakin membuatku yakin bahwa ia adalah seorang pedagang. Namun, meski fakta yang dipertunjukkan kepadamu sedemikian gamblang, kadang engkau tetap juga salah menyimpulkan dan lantas mengembangkan prasangka yang bukan-bukan.
Aku sangat bersyukur, prasangkaku itu salah.
Ia memang membeli dalam jumlah yang besar. Bukan untuk dijual kembali, akan tetapi dipergunakan untuk menutup lantai rumah yang juga sedemikian luasnya. Rumah siapakah?
Saat itulah aku bersorak tergirang-girang. Ternyata rumah itu adalah rumah Tuhan!
Sambil engkau engkau membayangkan betapa sejuk dan tentramnya rumah Tuhan, sementara itu, ijinkanlah aku membagikan kepadamu, perasaan bahagia yang hinggap kepadaku!
*****
Menjadi karpet yang terhampar di rumah Tuhan, bagiku menjadi sebuah kehormatan. Meski engkau berulangkali diinjak-injak, kehormatan yang akan engkau dapatkan melalui injakan-injakan itu menjadi sesuatu yang amat engkau idamkan dan rindukan.
Karena aku tahu, Tuhan akan mengangkat derajatku melalui injakan-injakan itu. Dari yang hanya sekedar benda menjadi sesuatu yang mulia. Engkau bisa merasakan sambutanku yang demikian hangat kepadamu, begitu engkau menginjakkan telapak kakimu di hamparanku. Aku akan menyapa matamu dengan warnaku yang cerah. Dan jika ada desah yang muncul karena engkau menggesekkan anggota tubuhmu di hamparanku, maka dengarkanlah. Itu adalah suaraku yang menyambutmu.
Rakaat demi rakaat shalat yang didirikan di atasku menjadi menjadi poin dan koin untukku. Sepasang kaki yang mendirikan shalat di atas hamparanku menjadikanku bernilai dihadapan Tuhan. Itu berarti poin bagiku. Sedangkan koin, itu adalah imajinasi jenakaku atas poin yang bisa kudapatkan. Di setiap ibadah yang dilakukan pada hamparanku, aku membayangkan koin demi koin yang bisa kukumpulkan. Koin yang mudah-mudahan saja bisa kugunakan untuk membayar tiket masuk ke surga. Jangan khawatir. Aku tidak akan menjadi pesaingmu dan mengurangi jatah kapling surga yang telah disediakan untukmu. Karena aku akan tetap menjadi selembar karpet. Selembar karpet yang diperkenankan menutupi lantai surga.
Benar kan? Aku tidak akan mengambil jatah kapling surgamu. Bahkan kalau aku beruntung, aku bisa menjadi hiasan di lantai kapling surgamu!
*****
Detak jantung yang sedemikian debar itu, pernahkah engkau rasakan?
Aku masih ingat debaran jantung seperti itu. Saat aku dibeli dari toko dulu. Meski sekarang aku bahagia bisa menjadi karpet yang dihamparkan dilantai masjid, namun debar itu selalu muncul, muncul, dan tak terhindarkan.
Tiapkali perhelatan yang diadakan masjid selesai, saat itulah jantungku akan berdetak kencang. Kau tahu kenapa? Ya, karena saat itu adalah saat yang paling menentukan bagiku untuk mendapat giliran digulung ataukah tetap digelar di lantai masjid. Aku akan sangat lega jika kemudian ternyata aku tetap dihamparkan. Jika kemudian sampai aku digulung dan disimpan dalam gudang, maka sekencang apapun aku menjerit dan menangis, takkan ada yang bisa mengubah keadaanku.
Ruang gudang yang dingin dan gelap adalah sesosok monster bagiku. Yang akan melahapku bulat-bulat. Jubah gelapnya akan membungkusku rapat-rapat, menjadi tirai kegelapan yang sempurna, yang tak memberi kesempatan sedikitpun kepada berkas cahaya untuk menembusnya. Dan rasa dingin yang menggigit, menusuk seperti ribuan jarum. Pelan dan pasti, menyebar ke seluruh tubuhmu, membekukan tak cukup hanya darah.
Tapi juga hatimu!
*****
Aku hanya memohon kepada Tuhan untuk bisa bertahan.
Bagaimanapun, aku hanyalah selembar karpet, maka ikhtiar apalagi yang bisa kulakukan selain hanya dengan berdoa?
Saat gelap dan dingin sedemikian mencengkeram, itu adalah saatnya bagiku membuka kotak ingatan. Pada situasi yang mencekam itu, kotak ingatan bisa menjadi pegangan untuk bisa bertahan. Ia bisa menghibur dan menguatkan, karena ia adalah satu-satunya teman.
Kotak ingatan menyimpan satu keping ingatan yang istimewa.
Ingatan tentang hembusan nafas.
Akan kuceritakan kepadamu tentang hembusan nafas.
Setiapkali hamba-hamba Tuhan yang mendirikan shalat di atasku bersujud, aku merasakan hembusan nafas yang mengiringi desah doa yang diucapkan saat itu. Saat kening kepala mereka menyentuh hamparanku yang diikuti dengan gerakan-gerakan bibir yang membaca doa, terasa benar udara yang berhembus diantara kepala dan hamparan karpet. Rasakanlah, sungguh amat hangat hembusan itu!
Hembusan nafas hamba-hamba Tuhan yang bersujud adalah sehangat-hangatnya hembusan nafas. Tak ada hembusan nafas lain yang bisa menyamainya. Hembusan itu terasa hangat karena di dorong oleh ketundukan dari dalam. Bersujud membuat egomu bertekuk lutut. Saat egomu tunduk, saat itulah kejujuran menjadi amat mudah untuk bertahta di hatimu. Kejujuran yang bertahta akan menggandeng ketulusan. Itulah sebabnya kenapa matahari ketulusan selalu terbit mendampingi singgasana yang bertahtakan kejujuran.
Adakah yang lebih hangat, selain hati orang-orang yang jujur dan tulus?
Ingatan tentang hembusan nafas itu,
membuatku tetap mempunyai harapan dan bertahan.
Saat dingin dan gelap menyekap!
*****
Maka datanglah Ramadhan…
Saat semuanya dibersihkan. Itu berarti, aku pun turut dibebaskan dari dingin dan gelapnya gudang. Kembali digelar di lantai dengan amat gembira. Menunggu dengan antusias para hamba yang akan beribadah di rumah Tuhan. Merasakan desah hangat nafas hamba-hamba Tuhan yang bersujud dan berpuasa. Atau bersuka cita karena tapak-tapak kecil anak-anak yang berlarian kesana kemari menunggu saat takjil tiba.
Ramadhan adalah saat yang indah.
Karena ternyata, aku tak sendirian. Aku bisa mendengar cerita tentang sajadah yang juga terbebas dari ruang gelap dan pengap, yang datang dari sajadahnya bu Mala. Atau kisah mukena yang hampir mati karena digantung terlalu lama, seperti yang diceritakan oleh mukena Vani. Lain lagi cerita tentang jilbab yang dipakai si Julia, yang selalu dipakai saat tarawih atau sholat subuh. Betapa gembiranya ia bisa dibebaskan dari lipatan dan diperkenankan membungkus auratnya. Jilbab itu juga berdoa, agar kelak ia juga diperkenankan untuk menjadi tirai hatinya.
Aku juga mendengar kisah sepasang sandal. Ia sangat gembira karena diperkenankan sejenak menginjak halaman rumah Tuhan. Sebab di sepanjang hidupnya, laki-laki yang memilikinya selalu mengunjungi tempat-tempat dimana hati dan harga diri dijual, serta kebaikan dan kehormatan diinjak-injak.
Ramadhan memang saat yang indah.
Karena itulah kesempatan bagi kami, yang hanya sekedar benda, untuk bisa menjadi lebih mulia dan bermakna!
*****
Delapan belas hari telah berlalu, dari saat segelas teh yang tumpah dan membasahiku pada takjilan terakhir. Aku sudah tak menjumpai lagi sajadah Bu Mala. Kuharap, mukena Vani tak digantung lagi. Karena akhir-akhir ini aku tak bisa mendapatkan kabar darinya lagi. Kabar terakhir kudengat dari jilbab si Julia, yang menitikkan air mata karena kembali dilipat dan dimasukkan ke dalam almari. Tentang sepasang sandal itu, aku amat prihatin karena entah kapan aku bisa kembali bertemu dengannya lagi.
Saat Ramadhan berlalu, semuanya juga berlalu.
Al Qur’an yang dibuka dan dibaca sepanjang Ramadhan akan kembali ditutup dan kembali hanya dipajang. Amal shalih dan akhlaq baik yang selama sebulan kemarin digelar kembali digulung. Sebagaimana aku yang juga digulung dan disimpan rapat-rapat di dalam gudang.
Wajarkah?
Ah, sekiranya orang-orang itu pernah sekali saja menjadi aku.
Digulung, disekap gelap dan dingin.
Atau sekali-sekali jenguk dan tanyalah hatimu…
Wajarkah itu?
Jogjakarta, 18 september 2011
saat ramadhan berlalu….
Posted in Uncategorized